Jumat, 21 Oktober 2011

PUISIKU

DARAH

Seperti kereta,
Aku berkendara di antara rumput-rumput merah
Keterasinganku yang hitam melumat
Nafasku. Iblis
Taufan begitu bergemuruh. Mengabarkan luka
dan sejarah yang terpahat di menara
Tapi di mana bisa kutemui segala pelayaran
Tanpa menunggu terminal
Dalam buaian waktu

Lalu tubuh putih yang pucat
Mengirimkan doa, seperti tuhan yang kesepian
Dan langit yang mengguyurkan sedih
Pada mata pisauku
Darah,
Kusebut darah
Dalam impian kesekian. Ketika gemuruh cahaya
Menampar lumpur sawabku
Kabut-kabut berdentum
Lalu kurubah arah perahu
Kurebut farji dari perut bumi
: aku laki-laki

Tapi siapa yang bisa memastikan
di setiap teminal, pemenang pertempuran
Seperti abad yang berlari
Dan gerimis mendaki
Memamerkan segala kesedihan dengan air mata
Padahal amarah menjelma kunci utama
Pembuka surga.

Mungkin daun-daun gugur
Tapi ia gugur bukan untukku
Ketika alam telah mendendangkan kematian,
Maka segala kepala menjelma belukar
Segala harapan menjelma ular
Dan kurebut cahaya dari segala puting jaman

Mungkin dalam puting beliung, semacam periuk
Raksasa
Kutasbihkan kesombonganku
Kuremas segala sisi manusia
dari darah, daging dan impian
Lalu kulaknati kelemahanku seperti serigala

Ketika kuberkendara, taring-taringku
Berjuntaian seperti akar beringin
Melilit ibu, tubuh telanjangnya
Dan memperkosanya di sebuah altar
Tempat yang segala nista tersebar
Di sana, ada raja,
di sana jaman telah menyerahkan dirinya

Lalu duniaku, dunia anak-anak yang bisu
Bermain kereta dari pasir
Mengendarainya dari bukit-bukit, mengulum waktu
Dalam waktu
Menyampaikan kabar terakhir dari batu
Bahwa dunia ada, karena darah tumpah

O sang jagat, berilah tubuhku kehendakmu
Berikan belati yang menancap di kutub-kutubmu
Aku akan berkendara dengan kereta
Bintang-bintang
Memerkosa setiap perempuan
Dan merobek setiap garba dengan gigi teringku

Aku akan mengembalikan segala yang nista
Seperti tubuhku, tubuh dunia
Tubuh segala yang bernafas dengan udara
Udara yang penuh api

Lalu setiap rumput yang mengering
Seperti kemarau
Ia gemeretak di setiap ubunku, di setiap sahwatku
Ia merindukan segala hujan
Dari mulut langit
Dan segala yang gugur dalam kekeringan
Menjalin darah
Dalam puisi
Lalua mencampakan risalah
Di kali
Sebab setiap yang bernama kesucian
Hanya tempat untuk menistakan dunia

Mungkin keretaku yang rapuh
Akan tersepuh dahan-dahan matahari
Kurebut segala ilham dari sengkarut waktu, tubuhku
Dan segala pengorbanan di alamku

Kucobai kemanusiaanku dengan gaib
Seperti tubuhku yang raib
Ketika segala impianku membentur dinding kosong.
Seperti wahyu, aku berlari, tanpa tali temali,
Tanpa sayap-sayap.
Kuundang jibril dengan ketelanjanganku
Lalu waktu
Seperti lingakaran-lingkaran penuh,
Matahari yang purnama
Gerhana seperti penantian
Dan gelap dalam bayang

Tapi adakah segala yang bermuara pada cahaya akan
Datang
Suatu hari
Ketika segala pasti
Dan yang berubah hanya sementara

Kupuja kekekalanku
Kekekalan jiwaku
Kekekalan kekalahanku
Jika kelak, kubertemu dengan seribu galaksi
Kusebut ia neraka,
Lalu kulabuh segala yang tersisa dalam api
Sebab segala yang berwarna merah
Hanya mencerminkan sebuah gairah
Gairah busuk!

Mungbkin harus kundang kembali adam
Dalam awal mula
Ketika ia masih buta pada arti sejarah
Lalu segala menjadi asing, aritmatika demikian sederhana
Sebab yang ada bukan hanya cakrawala

“Eva, lihatlah segala muara, delta
dan segala pelabuhan yang disandarkan di bahumu
Engkau tak butuh nabi. Nabimu adalah bumi,”

Seperti waktu, jejak-jejak itu semakin berat
Keretaku semakin sarat
Pasir hitam mengahablur dadaku
Cawan gelap mengubur lukaku
Lalu kugambarkan segalanya
Dalam segenggam ingatan
Dan kutuliskan dalam separoh khayalan
Bahwa aku ada,
Karena aku pernah berdosa.

Saksikanlah,
Tubuhku penuh luka
Tapi luka itu bukan milikku semata
Dunia demikian bebal
Dan kubebankan segala kebebalan pada sang kala
--nujum dewa-dewa—
Tapi siapa bisa memilih

Seperti kereta,
Aku berkendara
Rumput-rumput kering
Kemarau
Dan dingin mengulang segala penciptaan
Kelahiranku, kematianku dan mimpiku kuabadikan
Dalam duka
Duka yang memanjang, memanjang
Dan mengubur segala ketelanjangan
Telah kucari sebuah terminal,
Dan aku tak ingin mnemukannya
Aku hanya ingin menyaksikan darah
Menetes
Dari luka yang tak akan pernah sembuh
Sepanjang sejarah
Sebut aku kafilah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar