Duh…sebenarnya ini adalah tulisan kegelisahan atas pemandangan saya lihat beberapa kali akhir-akhir ini. Bukan hal baru memang, tapi saya cukup terusik saat melihatnya sendiri. Teranyar terjadi semalam. Saat saya makan di sebuah warung tenda. Disebelah saya persis duduk berhadapan laki-laki dan seorang perempuan berjilbab. Keduanya saya lihat asyik mengepulkan asap rokoknya setelah menikmati sepiring hidangan nasi uduk yang tersaji di mejanya.
Inginnya sih saya cuek melihat ini. Toh ini bukan urusan saya. Dan untuk menulis ini saya maju mundur penuh keraguan. Karena saya merasa seperti orang kurang kerjaan dan usil gitu sama urusan orang. Eh tapiii…kalo saya diam seribu bahasa, entah mengapa hati nurani saya kok rasanya terusik ya. Membuat saya jadi mumet sendiri. Semoga ini bukan tanda-tanda saya sebagai seorang pendengki, yang senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang. Daripada saya terus kepikiran, mending saya tulis aja disini. Siapa tahu kita bisa berbagi opini. Dan siapa tahu juga dengan berbagi, saya yang ilmunya masih cetek ini bisa tercerahkan.
Saya sangat sering mendengar teman saya yang belum berjilbab berujar begini, atau mungkin andapun pernah mendengarnya, “Ah…kalo saya si sebelum benar-benar pake jilbab, saya mau jilbabin hati saya dulu deh…daripada udah berjilbab kelakuannya malu-maluin…” Saya menangkap “jilbabin hati” disini bermakna meluruskan niat dan mempersiapkan kondisi batin dan bekal yang lebih baik dari segala sifat buruk yang kerap bersemayam di hati. Lalu benarkah pernyataan ini?
Adalah hal yang wajar bila orang yang mau hijrah mengenakan busana muslimah dalam kehidupan sehari-harinya mempersiapkan mental dan bekal yang cukup agar niatnya bisa berjalan sempurna. Meski sebenarnya ukuran baik itu sangat relatif. Sama absurdnya dengan ukuran kesempurnaan. Pertanyaannya kemudian, mau menunggu sebaik apa? apa ukuran baiknya? Parameternya mungkin berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Meski tetap bisa ditarik benang merah tentang makna kebaikan secara umum. Padahal sejatinya, sifat iman itu yazid dan yankuz (naik dan turun) pertentangan baik dan buruk takkan pernah berhenti dalam diri selama hayat di kandung badan. Hingga bila manusia menunggu kesempurnaan iman untuk bisa berbuat baik, boleh jadi itu hal yang mustahil.
Saya jadi teringat saat kuliah dulu, seorang sahabat perempuan saya adalah seorang pecandu rokok. Ditengah perjalanan spiritualnya, ia mendapat hidayah mengenakan jilbab. Padahal saat memutuskan itu ia belum bisa sepenuhnya meninggalkan kebiasaannya merokok. Akhirnya ia jalani saja kewajibannya berjilbab, sambil masih mencuri-curi merokok bila ia ada di dalam rumah. Saat itu saya dicurhati kegelisahannya akan prilakunya sendiri yang dia rasakan tidak konsisten. Berjilbab tapi masih merokok. Namun saya hanya bisa menghibur dan terus memberinya semangat, bahwa perlahan ia pasti bisa berhenti dari kebiasaannya. Dan akhirnya itu benar terbukti, semakin dia belajar semakin dia mengerti dan perlahan terus berjuang menyempurnakan prilakunya. Hingga kebiasaan merokoknya berangsur hilang, dan kini ia bisa menjadi muslimah yang konsisten dengan pilihannya. Setidaknya begitulah di mata saya. Alhamdulillah.
Akan halnya jilbab itu sendiri, Islam mewajibkan para perempuan yang sudah akil baligh untuk menutup auratnya. Ini menjadi bentuk seruan atau perintah langsung dari Allah, meski dalam prakteknya tak ada siapapun bisa memaksanya. Karena sifat agama ini yang rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi sekalian alam yang artinya disebarkan dengan jalan damai tanpa adanya paksaan.
Kembali ke soal merokok. Dari tinjauan secara umum saja merokok itu amat sangat merugikan kesehatan. Terutama pada perempuan. Aneka penyakit berhubungan dengan kesuburan reproduksi bisa menyerang, meski itu terjadi dalam kurun waktu yang panjang, tidak instan dalam waktu dekat. Dan kalau sudah begitu, tentu kita bisa simpulkan merokok terutama dalam hal ini bagi perempuan adalah bentuk perbuatan yang lebih banyak mudharat (kerugian) ketimbang manfaatnya.
Berjilbab adalah wujud ketaatan seorang hamba terhadap perintah Tuhannya. Itulah mengapa jilbab sering diindentikkan dengan pakaian Taqwa. Dan bila sudah berkomitmen melaksanakan kewajiban menutup aurat ini, suka tidak suka sederet konsekuensi tak tertulis mengiringi prilaku seorang muslimah yang mengenakannya. Walau tak harus sesuci nabi, setidaknya langkah dan prilaku seorang yang berjilbab hendaknya sebisa mungkin diselaraskan dengan pakaian yang dikenakannya. Meski masih begitu banyak perbaikan diri di sana sini. Yang terpenting tumbuh dulu kesadaran dalam diri muslimah untuk menjaga sikap dan prilakunya. Salah satunya adalah menjauhkan diri dari apa-apa yang tidak bermanfaat dan merugikan diri sendiri, seperti halnya merokok tadi.
Dan yang tak bisa dipungkiri, perempuan berjilbab juga secara tak langsung dilihat orang sebagai role model sosok wanita muslimah yang diteladani. Ia ibarat kapstok da’wah berjalan. Prilakunya menjadi sorotan. Hingga sederet ekspektasi yang tinggi akan sifat kesholehan, kepantasan, kepatutan sering dituntut ada dalam dirinya. Karena jilbab adalah simbol ketaatan. Maknanya lebih dalam dari sekedar selembar kain penutup kepala biasa. Jadi perempuan berjilbab perlu menjaga nilai-nilai kepatutan dalam bersikap. Jangan sampai karena perbuatannya, orang kemudian menilai “jilbab” itu sendiri secara negatif.
Namun, satu hal yang harus disadari (semoga ini juga terus menjadi pengingat bagi saya), perempuan berjilbab itu bukanlah malaikat, ia adalah manusia yang punya segudang kelemahan layaknya manusia biasa. Tak luput dari alpa dan dosa. Bila kita menyadari hal ini, mungkin sedikitnya kita bisa bertenggang rasa dan mencoba berbaik sangka pada wanita berjilbab yang prilakunya (masih) belum sesuai pakaiannya. Toh dalamnya niat di hati tak pernah ada yang tahu. Biarlah semua itu menjadi urusannya dengan Tuhan. Tak ada kewenangan kita mencampurinya. Cukuplah Allah saja sebaik-baik penilai…
Wallahu’alam bis shawab….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar